Selasa, 28 Januari 2014

Pekan Gawai Dayak

"Adil ka' talino bacuramin ka' saruga basengat ka' Jubata." Artinya, adil kepada sesama. Becermin ke surga. Semangat itu berasal dari Tuhan.
SEORANG tetua adat atau timanggung merapalkan mantra dalam bahasa Dayak Pesaguan. Peserta ritual adat duduk berjajar dalam sebuah ruangan luas. Di tengah ruangan berdiri tiang bambu berisi berbagai perangkat adat.
Suara musik berdentang. Rancak dan dinamis. Peserta ritual adat mengitari bambu dengan menari. Tetua adat menebang batang bambu. Semua peserta mencicipi tuak dari bilah bambu tersebut.
Itu terjadi pada siang di sebuah rumah betang (rumah panjang ) di Jalan Sutoyo, Pontianak, Kalimantan Barat, minggu ketiga Mei 2011. Mereka sedang melaksanakan ritual adat tanjan jarau.
"Tanjan jarau adalah ritual adat dan penghormatan terhadap keluarga atau leluhur yang meninggal," kata Nikodemus Erpan, Ketua Biro Hukum Adat Pesaguan Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Ketapang. Adat tanjan jarau merupakan ritual melepas ikatan batin antara keluarga yang masih hidup dan anggota keluarga yang meninggal. Sebelum adat terlaksana, pihak keluarga inti tidak boleh melaksanakan berbagai kegiatan yang bersifat sukacita. Misalnya, pesta perkawinan atau keramaian lainnya.
Inti ritual tanjan jarau adalah penghargaan terhadap yang meninggal. Ketika tuak telah tertumpah ke bumi, keluarga sudah menyelesaikan semua yang berhubungan dengan adat. Tuak merupakan penghargaan. Semua yang hadir harus mencicipi. Kalau pengundang tak memberikan tuak kepada tamu, ia dapat dikenakan sanksi hukum adat.
Adat tanjan jarau hanya ada di Dayak Pesaguan, Ketapang. Biaya pelaksanaannya mencapai Rp 50 juta hingga ratusan juta. Tergantung yang punya gawe. Semakin banyak orang kampung yang diundang, semakin besar pula biaya yang dibutuhkan. (Oleh: Muhlis Suhaeri, Foto: Muhlis Suhaeri)